Di istana Jonggring Salaka, kahyangan Suralaya Maniloka, para dewa sesangga jawata duduk di paseban agung menunggu sabda Raja Triloka. Sementara di dampar kencana Mercupunda, Sanghyang Tengguru atau juga yang dikenal dengan nama Sanghyang Manikmaya, Jagatnata, Batara Guru, bersabda.
"Anggana Putra, sesuai janjiku padamu, atas jasa-jasamu dalam menumpas kerusuhan di kahyangan Suralaya, maka aku akan menganugerahkanmu seorang bidadari untuk kau persunting. Pilihlah olehmu salah seorang diantara para bidadari Maniloka ini".
Mendapatkan anugerah dan penghormatan dari raja Tribuana, Bambang Anggana Putra sangat suka cita hatinya, ia merasa tersanjung atas penghormatan yang telah diberikan kadewatan kepadanya, penghormatan dimana ia diperkenankan bebas memilih sendiri bidadari yang akan dijadikan istrinya. Bambang Anggana Putra adalah seorang yang berbudi luhur, jujur, dan polos wataknya, ia salah seorang yang memiliki darah putih, hanya saja dibalik kepribadian-kepribadiannya yang baik, sebagai manusia tetap ada satu kelemahan yang dimilikinya, yaitu sifat jenakanya yang terkadang tidak dapat menempatkan diri, ia sangat suka bersenda gurau yang pada akhirnya menyeret dia pada satu masalah yang merenggut hari-hari depannya.
"Ampun pukulun... Sungguh hamba sangat bahagia mendapat anugerah pukulun, seperti yang pukulun tawarkan kepada hamba memilih salah seorang bidadari Maniloka untuk dipersunting, namun melihat para bidadari penghuni Maniloka ini yang semuanya berparas jelita membuat hamba tidak mampu menentukan pilihan, akan tetapi walaupun begitu, sesungguhnya hamba pernah mengagumi salah seorang diantara mereka".
"Siapakah gerangan Anggana Putra? Aku telah memberimu kesempatan untukmu”.
"Jika pukulun tidak keberatan, pilihan hamba jatuh pada dewi Uma, bidadari yang selama ini hamba kagumi".
Seperti ada halilintar menghantam dampar kencana Mercupunda, tubuh Batara Guru bergetar, mukanya merah padam, hatinya menjadi panas sepanas kawah Candradimuka. Semua para dewa terkesiap mendengar ucapan Bambang Anggana Putra.
"Samudra madu kupersembahkan untukmu, namun sebaliknya kau memberi cawan yang berisi racun kepadaku. Lancang ucapmu, Anggana Putra". Batara Guru tidak dapat menahan amarahnya, ia sangat tersinggung dengan ucapan Anggana Putra yang telah dianggap menodai kewibawaannya sebagai Raja Tribuana. Betapa tidak, dewi Uma adalah kameswari Suralaya, ia adalah kekasih hati dan permaisuri Sanghyang Guru sendiri.
Melihat gelagat yang kurang mengenakan, Anggana Putra segera menjura hormat.
“Ampun pukulun… Maafkan ucapan hamba tadi, sebenarnya hamba tidak bermaksud menghina kewibawaan paduka, hamba hanya bermaksud bersenda gurau karena pukulun menyuruh hamba memilih salah seorang bidadari penghuni Maniloka tanpa pengecualian, maka hamba mengguraui pukulun, sebab dewi Uma sendiri adalah bidadari penghuni Maniloka. Mohon pukulun memafkan sifat jenaka hamba”.
Batara Narada tertegun mendengar sabda Raja Tribuana, ia sangat prihatin dengan keadaan Bambang Anggana Putra. "Oladalaa... Adi Guru, tidak cukupkah hukuman yang kau berikan? Setelah wujudnya kau rubah menjadi raksasa, kebahagiaannya pun kau renggut. Pertimbangkan kebijaksanaanmu. Jagalah hati dan pikiranmu dari nafsu amarahmu agar sabdamu tidak selalu bertindak lebih cepat dari pikiranmu”.
Batara Guru menganggap semuanya sudah terlanjur, tidak dapat dirubah lagi. Anggana Putra sangat sedih, ia tidak menyangka akan mendapat hukuman sedemikian rupa. Setelah melakukan penghormatan yang terakhir kalinya, Anggana Putra lalu pergi meninggalkan kadewatan Suralaya menuju Argabelah.
Sepeninggalnya Bambang Anggana Putra, ternyata Batara Guru masih menyimpan dendam. Diam-diam ia masuk ke dalam perut bumi, menembus Sapta Pertala (lapisan bumi ketujuh). Disana ia mengambil selongsong kulit Raja Naga Hyang Antaboga yang mengalami pergantian kulit setiap 1000 tahun sekali. Dengan kesaktiannya selongsongan kulit Raja Naga itu dicipta menjadi Taksaka (naga) yang sangat sakti mandraguna. Saktinya Taksaka karena Batara Guru telah memasukan sukma Candrabhirawa yang telah ditangkapnya saat melayang-layang mencari penitisan. Taksaka lalu dititahnya untuk menghadang perjalanan Bambang Anggana Putra dengan maksud membinasakannya. Taksaka segera melesat secepat kilat tatit menyusuri lapisan-lapisan bumi, mengejar Bambang Anggana Putra. ( Bersambung ) Sumber : Kumpulan cerita wayang