Kamis, 01 Desember 2011

Jejak Desa Kebonsari Petanahan Kebumen ( Bagian 1 )

Kisah yang dipaparkan ini adalah sebuah cerita tentang keterkaitan antara  seorang syekh yang pernah bermukim di desa Kebonsari, dan memiliki keterkaitan sejarah dengan penyebaran agama Islam di tanah jawa. Benar- atau tidaknya cerita ini, inilah penuturan dari tokoh kasepuhan di desa Kebonsari. Sebagai sebuah kekayaan daerah, tuturan kisah dalam versi ini kiranya bisa menjadi bahan kajian kita sebagai generasi muda, untuk lebih mengenal daerah leluhur kita. 




Kentalnya Pengaruh Cerita Para Wali 

Dalam ceritera, R.Patah yang membawa risalah rasul Muhammad adalah putra dari pernikahan putri Cempa-Cina dengan Raja Brawijaya-raja Majapahit yang terakhir. Versi dongeng, diberi nama Patah dari makna banyu patang wulan bali ngulon meng Cina. Dulu, ratu Sriwijaya alias sang ayah putri Cempa menciptakan Putri Cempa yang berwujud jin raksasa, dicipta menjadi putri cantik seperti putri di daerah tanah Jawa. Saat sudah menjadi cantik, ia berkeliling di seluruh tanah jawa membawakan seni lagu dan tari-tarian untuk dipertunjukkan. Ratu Brawijaya melalui Patih Gajah Mada, jatuh cinta pada putri Cempa dari Palembang dan ingin mempersunting menjadi istri sebagai istri ke-41. Setelah menikah dengan Raja Brawijaya, Putri Cempa hamil dan mengidam. Yang diinginkan Putri Cempa saat mengidam adalah rujak babi. Sebagai suami, Sang Prabu menuruti permintaan istrinya dengan memerintahkan kawulanya berburu babi dan memasaknya. Setelah makan, ternyata Putri Cempa yang cantik tiba-tiba berubah ke wujud semula, seorang raksasa.
Dengan perubahan wujud itu, Sang Putri menjadi malu dan segera terbang kembali ke tanah asal, Banyu patang wulan alias R. Patah dibawa serta. Sat kembali ke negerinya, Putri Cempa dipersunting oleh Arya Damar-Raja Palembang. Disana, lahirlah R. Patah. Sebagai ayah, Prabu Brawijaya berpesan agar Arya Damar tidak menghilangkan identitas R.Patah yang merupakan keturunan langsung dari Majapahit. Di kemudian hari R. Patah pergi menuntut ilmu ke Mesir sehingga ia menjadi seorang alim dan kelak menjadi penyebar ajaran Islam-Rasul di tanah jawa, bahkan menyerang ayah kandungnya sendiri yang berkuasa di Majapahit yang nota benenya pemegang tradisi dan kepercayaan Hindu. R. Patah adalah anak kandung dari putri Cempa, hasil dari pernikahan keduanya dengan Prabu Brawijaya. Sedangkan sebelumnya Putri Cempa sudah pernah menikah dan berputrakan Raden Husen.
R. Patah yang beranjak dewasa bertanya kepada ibunya tentang keberadaan ayah kandungnya. Setelah ibunya menceritakan sebenarnya darah siapa yang mengalir pada diri R. Patah, maka segera R. Patah ingin menyusul ayah kandungnya di Majapahit. Sebelum ia tiba di Majapahit, ia singgah dulu di Demak Bintoro dan diterima oleh Sunan Ampel. Oleh Sunan Ampel, R. Patah dinikahkan dengan cucunya-putri Mloko, dan dijadikan Bupati Demak Bintoro. Setelah cukup lama menetap di Bintoro, R. Patah ingin melanjutkan ke Majapahit. Di tengah jalan ia bertemu dengan Sunan Giri. Saat R. Patah menyatakan maksudnya, Sunan Giri melarang dia melanjutkan niatnya dengan alasan ilmu para wali yang sudah mengakar di tanah jawa, tidak boleh diganggu gugat, dirubah atau dicampuri oleh ajaran Islam yang berasal dari tanah Arab. Namun dalam kenyataannya, R. Patah yang kemudian bertemu dengan saudara tirinya R. Husen, menegakkan agama rasul di tanah jawa. Pada saat itulah para wali pemegang ajaran sinkretik mundur agar tidak terjadi pertentangan di kalangan umat. Secara garis besarnya, agama Rasul dipandang sebagai ajaran yang mengutamakan syariat sedangkan para wali dianggap sebagai pembawa ajaran tarekat. Sedangkan idealnya seorang umat adalah mengamalkan ilmu Rasul dan meneladani perilaku wali, namun sekarang tidak demikian.
Sejenak mengutip cerita tentang R. Patah yang dalam konsep ber-Islam, berbeda dengan Syech Abdul Awwal yang mendiami Kebonsari di kemudian hari, sekitar 900 tahun yang lalu. Berasal dari sejarah tutur, Syech Abdul Awal dulu bernama Mangkurat Mas, dari Yogyakarta, putra R. Pemanahan dari istri padmi/permaisuri. Anak Ki Ageng Pemanahan ada 2 yaitu Mangkurat Mas dan Mangkurat Kuning. Cerita berawal saat Ki Ageng berpesan kepada anaknya, lewat adiknya Ki Ageng Giring yang bermukim di Cirebon. Ki Ageng Pemanahan memberi wangsit jika suatu saat Ki Ageng mangkat, maka kekuasaan keraton Yogyakarta diserahkan kepada anak sulungnya, Mangkurat Mas. Namun begitu ayahnya meninggal, Ki Ageng Giring malah tidak peduli dengan amanah untuk menyerahkan titipan kekuasaan kepada Mangkurat Mas. Melalui patih Martapala-Martapura, terjadilah geger. Ki Ageng Giring tidak mau menyerahkan kerajaan kepada Mangkurat Mas. Hal ini menjadikan Mangkurat Mas memutuskan untuk pergi dari keraton. Dia mengembara. Dia berprinsip bahwa kekuasaan hanya akan akan menjadikan seseorang bertaruh. Mempertaruhkan segala sesuatu bahkan akhir ajal sekalipun, bertaruh demi kekuasaan. Dan akhirnya kekuasaan di Yogyakarta jatuh ke tangan Ki Ageng Giring. Mangkurat Mas pergi dari kerajaan, menuju ke arah barat.
Dalam satu cerita, pada suatu saat Ratu Yogyakarta yang merupakan permaisuri Ki Ageng Giring gering (sakit), Mangkurat Mas lah yang berhasil menyembuhkannya. Sesuai dengan janji yang diucapkan Ki Ageng Giring bahwa siapapun yang berhasil menyembuhkan istrinya akan dituruti segala permintaannya. Sebagai hadiah atas keberhasilannya, Mangkurat Mas muda meminta tanah seluas serban, yaitu bumi Mataram yang di kemudian hari ditempati, Kedungamba. Sebelumnya Ki Ageng Giring telah menawarkan tanah antara sebelah timur sungai Praga sampai Sitandu, namun Mangkurat Mas menolak. Mangkurat Mas hanya meminta tanah yang tidak begitu luas di Kedungamba, yang sekarang ini menjadi bagian dari desa Kebonsari. Karena merupakan tanah hadiah dari sultan maka Kedungamba disebut sebagai tanah Keputihan yang tiap tahunnya tidak terkena pajak ke Mataram, namun hanya menyetorkan bulu bekti atau glondhong pengareng-pengareng berupa padi, palawija, dll saja tiap tahun pada musim panen sado ke Mataram berpakaian jarit wiru dan blangkon. Saat menyerahkan bulu bekti, yang ikut sowan 7 orang sebagai perlambang martabat desa yaitu Lurah, Congkog, Carik, Kebayan, Kaum, Polisi dan Kamituwa. Oleh Mataram yang diberi kewenangan menjadi Lurah Kedungamba adalah Mangkurat Mas atau Syech Abdul Awwal. Begitu Belanda menyerang, barulah Kedungamba dikenai pajak. Kedungamba diambil dari makna, kedung artine jero lan amba, melambangkan begitu dalam dan luasnya ilmu wali yang dibawa oleh Syech Abdul Awwal.
Saat mengembara ke Kebumen, Syech Abdul Awwal sudah menamatkan ilmu dari pesantren dan menikah dengan putri keraton Solo/Surakarta yang bernama Jonggrang, belum sempat bekerja mengamalkan ilmunya namun sudah didahului dengan geger perebutan kekuasaan di Yogyakarta dan pendudukan Belanda di tanah jawa. Seumur hidup, Syech Abdul Awwal hanya mempunyai satu istri yaitu Nyai Jonggrang. Saat tiba di Kedungamba, Syech Abdul Awwal membawa rasa sedih karena terusir dari istananya. Saat tiba disini sudah ada sekitar 50 orang penduduk yang menghuni Kedungamba.
Di Kebonsari, Mangkurat Mas membawa ilmu para wali ibarat hanya sebulir padi/semenir, dipecah menjadi empat madzhab. Sembari bermukim disini, Mangkurat Mas memberikan wewarah kepada banyak orang tentang ilmu-ilmu para wali. Mangkurat Mas alias Syech Abdul Awwal punya banyak murid, diantaranya di Guyangan, Syech Sidakarsa dan Syech Abdul Rosyid. Sebagai seorang pembawa ajaran Islam Jawa/sinkretik/ilmu kebatinan/ilmu ratu tanah jawa, Syech seorang diri mengajarkan ilmunya di daerah ini. Ada tokoh lain yang dikenal yaitu Syech Abdul Muhyi, namun beliau membawa risalah Islam murni dari tanah Arab-Madinah.
Tempat bermukimnya Syech Abdul Awwal adalah di pedukuhan Kedungamba, desanya Grogol Beningsari. Namun begitu direbut oleh Belanda daerah ini termasuk desa Kebonsari, dan statusnya sudah tidak seistimewa saat menjadi desa keputihan mataram. Kebonsari mulai dikenai kewajiban pajak kepada Belanda. Semasa hidupnya, Syech memilih tempat yang sepi agar tidak ada yang mengganggu, beliau adalah seorang putra mahkota kerajaan yang terluka karena penghianatan sang paman.
Ada satu cerita menarik, suatu saat Syech ingat akan sebuah pesan yang tertulis di kitabnya untuk pergi ke tanah suci-naik haji. Sebagai wali yang berilmu tinggi, sekaligus menandakan kemuliaan akhlaknya, bersama sang istri, Syech melakukan perjalanan haji dengan cara terbang menggunakan “mancung” dari pohon kelapa.
Syech memiliki 2 putra yaitu ‘Abdul Rauf dan Jaya Ahmad. Di deretan makam, sebelah barat makam Syech adalah makam putra pertamanya, ‘Abdul Rauf. Konon ceritanya, Abdul Rauf adalah anak yang merasa selalu ingin mengungguli kedigdayaan ayahnya, misal jika ia menimba air, bukannya menggunakan wadah yang rapat malah menggunakan keranjang yang berlubang, angin yang berhembus juga berusaha ia kekang dengan diikat memakai selendang, dan berbagai perbuatan Abdul Rauf yang mengesankan ia ingin mengungguli kesaktian ayahnya. Putra yang bungsu menikah dengan seorang putri keturunan cina dari Semarang.
Di makam Syech kini didapati unggukan rumah rayap, yang disebut Unnur. Konon, jika di makam seseorang terdapat Unnur, menandakan orang tersebut adalah orang yang mulia dan luhur ilmunya.
Mulai disebut Kebonsari, sejak Belanda berkuasa. Sebelumnya desa ini adalah 3 desa yang berbeda, yaitu Kedungamba, Bogor, dan Kebonan. Ketiga desa tersebut digabung tahun 1927. Penggabungan desa tersebut disebut blengketan. Lurah pertama H.Ahmad Waktu itu kantor balai desa kedungamba belum ada, untuk perjalanan pemerintahan kantornya berada di rumah Kepala Desa. Baru ada kantor balai desa ketika pada masa Orde Baru..
Tahun 1941 jepang dating. Pada jaman Jepang penyakit yang mewabah adalah oedem/ abuh, gudigen, dan korengen. Kutu besar-besar menyerang warga saat penjajahan Jepang. Pada tahun 1944 Jepang pergi dan Belanda kembali datang untuk menyerang. Mereka berniat merusak bangunan mereka sendiri seperti sekolah dan pasar, tapi yang ada di Kebonsari hanya ada sekolah. Sekolah itu dulu dibakar oleh NICA. Tentara NICA adalah orang jawa yang ikut Belanda. Muncullah beberapa organisasi yang bertujuan melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Suatu ketiaka ada isu akan terjadi penyerangan oleh Belanda pada ahad kliwon. Tentara Belanda dari Puring, Petanahan dan Gombong sudah sampai daerah Salakan, tapi konon katanya desa Kebonsari kabur tidak terlihat. Rencananya Belanda mau menyerang lewat sungai tapi Belanda tidak bisa melihat juga baik siang maupun malam. Sebenarnya Belanda dan tentara kita sudah berhadap-hadapan tapi tidak jadi ada serangan. Di tempat ini juga dibuat dapur umum dan latihan.
Dahulu yang mengajari sekolah dan perang adalah Jepang sehingga ketika Belanda datang lagi kita sudah berani untuk melawan. Yang mengajari adalah orang jawa yang sudah diajari oleh Jepang. SR 3 tahun, terus ada sekolah diatas SR di Petanahan juga 3 tahun. Yang sekolah disana ada 34 anak, kelas 1 dan 2, sampai kelas 3 hanya tinggal 22 anak.
Jadwal pelajaran di sekolah hari sabtu latihan perang-perangan/olah raga, senin oseh-oseh/cari belalang (walang), selasa nembang/nyanyi lagu Jepang, rabu berhitung, kamis menulis, jum’at bersih-bersih. Berangkat jam 7 sampai 10 pagi (kelas 1), kelas 2 jam 9-12. Kebanyakan siswa putra. Orang jaman dulu masih beranggapan lebih baik bekerja untuk memenuhi kebutuhan makan daripada sekolah. Kalau sekarang sudah banyak yang sekolah karena dari pihak orang tua sudah ada dorongan dan kemauan anak-anaknya juga ada.
Jaman dahulu tiap perayaan kemerdekaan, anak-anak sekolah berkumpul di Kecamatan. Para orang tua membuat syukuran. Pekerjaan penduduk sejak dulu memang pengrajin lambar-anyaman bamboo, hanya sebagian yang menjadi petani-pemilik sawah. Kalau ada orang yang baru pulang dari perantauan yang ditunggu-tunggu adalah pakaian, jas hitam. Program pemerintah waktu dulu yang maju adalah pertanian, untuk desa Kebonsari adalah jenis padi. Selama ini baru sekali terjadi banjir, penyebabnya hujan lebat yang lama sehingga air meluap dari sungai dan sawah ke perumahan penduduk. Hingga saat ini belum pernah terjadi bencana yang dampaknya sangat merusak. 


Bersambung....................

Sumber : Dokumen sejarah kota kebumen

0 komentar:

Posting Komentar